B. Arab

Pertanyaan

bagaimana menjadi seorang pendakwah

2 Jawaban

  • menjadi seorang pendakwah tidaklah mudah,... tapi jika memang niatnya yakin maka dapatlah ia menjadi pendakwah... karena pendakwah harus menerima apa yang orang katakan padanya tapi ia jadikan pelajaran dalam hidupnya....

    semoga bermanfaat
  • “Yang pertama, tafaqquh fiddin [mendalami ilmu agama] yang memadai,” kata Rafani, saat dihubungi Rappler, pada Senin, 7 Agustus.

    Sedangkan yang kedua, lanjut Rafani, memahami ilmu komunikasi.

    “Menguasai teknik ceramah, teknik berpidato. Jadi menguasai teori komunikasi dengan baik, supaya pesan-pesan yang disampaikannya itu bisa tepat sasaran,” paparnya.

    Yang sangat penting, menurut Rafani, si pendakwah harus mampu memberikan contoh atau teladan yang baik, sesuai dengan apa yang dia ucapkan.



    “Jadi kalau seorang penceramah tidak mampu memberikan contoh teladan terlebih dahulu, dia tidak akan menjadi panutan,” kata Rafani.

    “Bahkan pesan-pesan dakwahnya itu tidak akan sampai, tidak akan efektif karena audiens di situ bukan hanya ingin mendapatkan nasihat atau tausiah secara lisan, tapi juga dalam perbuatan.

    MUI sebagai lembaga, lanjut Rafani, telah berpesan kepada para mubaligh atau da’i untuk selalu mengedepankan uswah danqudwah atau contoh teladan, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.

    Untuk bisa memenuhi syarat-syarat tersebut, Rafani mengatakan, pendakwah sebaiknya mengikuti pelatihan yang biasa diselenggarakan oleh ormas-ormas Islam, seperti pelatihan mubaligh dan desiminasi dakwah yang diselenggarakan Muhammadiyah.

    Komisi Dakwah MUI Jabar, kata Rafani, juga memiliki program pelatihan serupa yang mengajarkan pemahaman agama, teknik komunikasi, dan contoh teladan.

    Pelatihan seperti itu juga, ujar Rafani, untuk menghindari munculnya ustadz karbitan. Menurutnya, fenomena ustadz karbitan itu bisa dibilang marak belakangan ini. MUI Jabar, lanjutnya, telah cukup lama memantau fenomena tersebut.

    “Memang diakui kelemahan kita sekarang ini, munculnya fenomena ustadz-ustadz karbitan. Ustadz karbitan itu ciri-cirinya tafaqquh fiddin-nya lemah, kemudian pemberian contoh kepada masyarakat juga nyaris tidak ada,” ucap Rafani.

    “Akhirnya, dakwah-dakwahnya hanya menonjolkan hiburan, banyolan, lelucon. Jadi kalau suatu ceramah keagamaan hanya diisi dengan lelucon, apa yang bisa diterima audiens? Kan enggak ada.”

    Di samping itu, Rafani melihat banyak mubaligh yang berseliweran di televsi hanya mementingkan tampilan, baik dari pakaiannya, gayanya, atau parasnya. Kadang-kadang ia juga memerhatikan banyak ustadz di televisi tidak memiliki kedalaman ilmu agama.

    “Seperti menyampaikan pesan-pesan itu hanya hasil menghapalkan dari mana gitu, tanpa kedalaman pemahaman itu artinya kering tafaqquh fiddin-nya,” katanya.

    Sebetulnya, kata Rafani, sempat muncul wacana sertifikasi mubaligh beberapa waktu lalu. Wacana itu muncul menyikapi fenomena ustadz karbitan tersebut. Sayangnya, wacana itu gagal terwujud karena muncul kontroversi di tengah masyarakat.

    “Padahal tujuannya kita ingin mengembalikan kegiatan dakwah itu secara proporsional, sehingga pesan yang disampaikan mubaligh itu mengena,” kata Rafani.

    “Kan ada istilah wa qullu qaulan baligho, katakanlah dengan perkataan yang baligh. Baligh itu pesannya bisa sampai, kemudian berbekas. Karena berbekas dan mendalam, maka akan menjadi kenyataan dalam hidupnya. Nah itu, target dakwah sebenarnya.”

    Untuk menyaring ustadz-ustadz karbitan seperti, menurut Rafani, masyarakat perlu mengubah pola pikirnya dengan mendengarkan ceramah dari mubaligh yang lebih menekankan pada konten dan substansi bukan bumbu-bumbu berupa hiburan, banyolan, dan tampilan. 

Pertanyaan Lainnya